Ketegangan antara China dan Amerika Serikat kini telah mencapai titik didih baru. Setelah Washington selama bertahun-tahun menekan Beijing lewat sanksi dagang dan larangan ekspor chip canggih, kini China membalas dengan strategi balasan yang mengguncang industri teknologi dunia. Dua raksasa chip asal Amerika, Qualcomm dan Nvidia, kini menjadi target utama penyelidikan resmi oleh State Administration for Market Regulation (SAMR) — lembaga pengawas pasar China.
Langkah ini menandai pergeseran besar dalam peta kekuatan global. Untuk pertama kalinya, China tidak hanya bertahan dari tekanan Amerika, tetapi secara aktif melawan dengan kekuatan hukum, ekonomi, dan industri.
Chip: Aset Strategis Abad ke-21
Chip semikonduktor kini menjadi tulang punggung seluruh sistem teknologi modern. Ia bukan lagi sekadar komponen kecil di dalam perangkat, melainkan otak dari dunia digital — mengendalikan ponsel, kendaraan listrik, satelit, server data, hingga sistem kecerdasan buatan (AI).
Amerika selama ini menguasai sektor ini lewat perusahaan seperti Intel, Nvidia, Qualcomm, dan AMD. Namun China punya keunggulan lain: mereka menguasai bahan mentah, pabrik produksi, serta pasar konsumen terbesar di dunia.
Ketika Amerika mulai membatasi ekspor chip canggih seperti Nvidia A100 dan H100 ke China pada 2022, tujuannya jelas — mencegah Beijing mengembangkan sistem AI dan militer canggih. Tapi efeknya justru sebaliknya: China merespons dengan investasi besar-besaran untuk membangun kemandirian chip nasional.
Kini, hasilnya terlihat nyata. Melalui langkah penyelidikan terhadap perusahaan Amerika, Beijing menunjukkan bahwa mereka sudah cukup kuat untuk menyerang balik.
Qualcomm Diserang Lewat Akuisisi Autotalks
Langkah pertama China adalah menyelidiki Qualcomm, produsen chip besar asal San Diego. SAMR menuduh perusahaan ini melanggar aturan pelaporan dalam akuisisi Autotalks, perusahaan chip otomotif asal Israel.
Investigasi ini bukan sekadar administratif. Bagi Beijing, akuisisi tersebut berpotensi mengancam keseimbangan pasar chip otomotif di China, terutama di tengah ambisi mereka menjadi pemimpin global di sektor kendaraan listrik dan sistem mobil otonom.
Bagi Qualcomm, ini bukan pertempuran pertama melawan otoritas China. Pada tahun 2015, mereka pernah didenda 975 juta dolar AS karena pelanggaran hukum antimonopoli. Lalu pada 2018, pemerintah China menahan izin akuisisi mereka terhadap NXP Semiconductors, hingga akhirnya kesepakatan itu gagal total.
Namun pasar China tetap vital bagi Qualcomm. Sekitar 50 persen pendapatan globalnya bergantung pada pelanggan di sana. Karena itu, penyelidikan kali ini berpotensi menjadi pukulan ekonomi besar yang juga menegaskan bahwa hubungan bisnis kini tidak bisa lagi dipisahkan dari politik global.
Nvidia Diselidiki, China Perketat Impor Chip AI
Tidak berhenti pada Qualcomm, kini giliran Nvidia yang menjadi sasaran investigasi. SAMR menuduh Nvidia melakukan pelanggaran hukum antimonopoli terkait akuisisi Mellanox Technologies pada 2020. Kesepakatan itu memperkuat posisi Nvidia di sektor data center dan chip AI, dua bidang yang kini menjadi inti dari perang teknologi global.
Namun di balik penyelidikan ini, China juga melancarkan langkah nyata di lapangan. Pemerintah memperketat pengawasan impor chip Nvidia, termasuk varian yang disesuaikan seperti H20 dan RTX Pro 6000D — chip yang diciptakan khusus agar tetap bisa dijual ke China tanpa melanggar sanksi ekspor AS.
Tim bea cukai tambahan ditempatkan di pelabuhan besar untuk memeriksa setiap pengiriman chip dari Amerika. Selain itu, perusahaan teknologi lokal seperti Baidu, Tencent, dan Alibaba diarahkan untuk beralih ke chip buatan dalam negeri, seperti produk dari Huawei HiSilicon dan Biren Technology.
Langkah ini bukan hanya bentuk perlawanan, tetapi juga strategi percepatan ekosistem chip lokal. Dalam jangka panjang, China berupaya memastikan bahwa kebutuhan AI mereka bisa dipenuhi tanpa harus bergantung pada Nvidia atau perusahaan asing lainnya.
Serangan Balasan China Tak Hanya di Sektor Teknologi
Selain menyeret dua raksasa chip ke dalam penyelidikan, China juga meluncurkan kebijakan ekonomi baru yang memperlihatkan betapa strategisnya serangan mereka.
Mulai pertengahan Oktober 2025, pemerintah memberlakukan biaya tambahan untuk kapal berbendera Amerika Serikat yang berlabuh di pelabuhan China. Langkah ini merupakan balasan langsung terhadap tarif baru yang lebih dulu diberlakukan oleh Washington terhadap kapal China.
Tidak hanya itu, Beijing juga memperketat izin ekspor untuk bahan mentah penting seperti litium dan semikonduktor mentah, yang menjadi bahan dasar produksi chip dan baterai kendaraan listrik. Dengan langkah ini, China mengirim pesan bahwa mereka mengendalikan sumber daya penting dunia teknologi.
Dampaknya bisa besar. Amerika dan sekutunya yang sangat bergantung pada bahan baku dari China akan menghadapi kenaikan biaya produksi dan potensi krisis pasokan global.
Dunia Terbelah Menjadi Dua Blok Teknologi
Perang chip global ini semakin memperjelas bahwa dunia sedang bergerak menuju fragmentasi teknologi besar-besaran.
- Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat, dengan sekutu seperti Jepang, Korea Selatan, dan Eropa. Fokus mereka pada riset dan desain chip generasi terbaru.
- Blok Timur dipimpin oleh China, yang memperkuat kapasitas produksi, pasokan bahan baku, dan pengembangan chip AI lokal.
Kedua kubu ini kini mulai membangun ekosistem teknologi yang berbeda. Dunia akan memiliki dua sistem AI, dua arsitektur chip, bahkan dua pasar digital yang tidak saling kompatibel.
Untuk negara seperti Indonesia, kondisi ini bisa menjadi peluang besar. Ketika dua kekuatan raksasa bersaing, negara netral bisa menjadi titik investasi strategis baru untuk riset dan manufaktur chip di Asia Tenggara.
Pelajaran Penting: Kemandirian Teknologi Adalah Benteng Masa Depan
Perang chip global memberi pelajaran besar bagi seluruh dunia: ketergantungan pada teknologi asing berarti kerentanan nasional.
China tampaknya sudah memahami hal ini sejak lama. Ketika Amerika menutup akses chip canggih, mereka tidak menyerah, tetapi memperkuat riset dalam negeri. Kini mereka bukan lagi sekadar pembeli, tetapi mulai menjadi produsen dan inovator chip AI yang diperhitungkan.
Dengan menyeret Nvidia dan Qualcomm ke meja penyelidikan, Beijing mengirim pesan kuat bahwa mereka siap memainkan peran utama dalam industri teknologi global.
Sementara itu, Amerika harus menghadapi kenyataan bahwa strategi pembatasan yang mereka buat justru mempercepat kebangkitan teknologi China. Dunia kini menyaksikan pertarungan dua kekuatan besar yang akan menentukan siapa yang memimpin era AI dan ekonomi digital masa depan.
Kesimpulan
Langkah China menyelidiki Nvidia dan Qualcomm bukan hanya tindakan hukum, tetapi strategi politik dan ekonomi tingkat tinggi. Beijing ingin menegaskan bahwa mereka tidak lagi menjadi pasar yang tunduk pada dominasi Barat, melainkan kekuatan global yang mampu mengatur ulang aturan permainan.
Dalam dunia yang kini digerakkan oleh kecerdasan buatan, chip bukan lagi sekadar produk industri — melainkan simbol kedaulatan. Siapa yang mampu memproduksi dan mengendalikannya, dialah yang akan menguasai masa depan.
Dan di tahun 2025 ini, China tampak lebih siap daripada sebelumnya untuk menantang supremasi Amerika di medan perang teknologi.